Budi Chaniago, Di Mana Bumi Dipijak, Di Situ Langit Dijunjung

Budi Chaniago

SpiritPerantau.com || Dimana bumi dipijak, di Sinan langik dijunjuang! Itulah filosofi survival perantau Minangkabau yang sangat lekat dengan masyarakat Indonesia. Diadaptasikan ke bahasa Indonesia  menjadi “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”, pribahasa ini menunjuk pada  keharusan seseorang untuk beradaptasi dengan masyarakat atau tempat dia tinggal.

Filosofi ini pula yang dihidupi  dan dihayati Budi Chaniago selama hampir 30 tahun merantau dan tinggal di Jakarta dan kemudian Tangerang. Entah di tempat tinggal, ataupun di tempat kerja, ia selalu memegang prinsip tersebut.

“Kemampuan beradaptasi tanpa harus melepaskan nilai-nilai dan prinsip pribadi merupakan salah satu kiat hidup yang saya pelihara dan praktekkan selama ini,” kata pria kelahiran Padang, tahun 1968 ini.

Budi memang gampang beradaptasi. Tapi dia tak mau kehilangan jati dirinya. Sebagai seorang muslim, ia berusaha tidak pernah meninggalkan  sholat.

“Waktu muda, kita beradaptasi dengan lingkungan kerja dan kehidupan Ibukota dan pergaulannya tanpa harus hanyut atau menyentuh minuman keras, jika waktu sholat kita upayakan mencari tempat sholat sesuai pesan Ayah: ‘Dimanapun kamu berada, jangan lupa sholat karena Sholat itu tiang agama.’ Dan saya tunduk pada pesan itu,” cerita Budi.

Menumpang Truk

Duduk di tengah, diapit kondektur dan supir truk angkutan barang, Budi berangkat ke Jakarta pada suatu hari di tahun 1993. Tas rangsel hitam berisi ijazah dan  transcript nilai yang sudah dilegalisir, celana panjang hitam dan kemeja putih,  uang 500 ribu rupiah, serta beberapa potong pakaian lainnya, selalu berada di atas pangkuan pria yang saat itu baru lulus dari Fakultas Pertanian, Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat.

“Kebetulan tetangga rumah kami di Padang bekerja di ekspedisi antara pulau, jadi saya dititipkan ke sopir yang biasa antar barang ke Jakarta,” cerita Budi. Perjalanan ke Jakarta memakan waktu seminggu karena harus singgah di Bengkulu untuk menurunkan barang sekaligus menaikkan muatan baru.

Tiba di Jakarta, ia menumpang di rumah kakak sepupu yang tinggal di Jalan Menteng Sukabumi, Jakarta Pusat, sambil mencari peluang kerja. Ia kemudian bergabung dalam perusahaan Research Bureau Indonesia, divisi Marketing Research Unilever Indonesia, “pekerjaan” yang pernah dilakoninya paruh waktu saat masih sebagai mahasiswa di Padang.

“Selama sebulan pertama, saya ditugaskan di lapangan untuk mengumpulkan data dengan berkeliling sesuai area penugasan di Jakarta Timur untuk meneliti tentang penerimaan konsumen atas produk-produk Unilever,” kenang Budi.

Di bulan kedua, dia dipindahkan  ke bagian administrasi setelah ada yang  tahu bila dia lulusan  S1 dan terampil  mengoperasikan komputer.  Kondisi  kerja sudah membaik karena dia bekerja di ruangan ber-AC.

Tapi ia hanya bertahan 8 bulan di sana karena jadwal kerjanya yang terlampau padat, sering diminta masuk pada hari Sabtu/libur dan tidak ada prospek ke depannya. Padahal hari Sabtu dan Minggu biasanya dia pakai untuk  bertemu perantau senior dan mencari peluang kerja baru.

Koran di pelataran masjid

Suatu hari saat masih bekerja, setelah sholat Jumat, ia duduk di pelataran masjid. Ia tidak langsung pulang, karena sepatunya hilang. Sembari menunggu sandal yang bisa dipakai, Budi memilih membaca koran bekas alas sholat dan melihat ada Koran Kompas yang terlihat masih baru.

Ia membuka surat kabar yang sebenarnya terbitan 2 minggu sebelumnya itu. Di salah satu halaman, tertera iklan lowongan kerja di salah satu Bank swasta untuk mengikuti Officer Development Programme (ODP), program untuk mempersiapkan seseorang menjadi calon leader.

Karena batas akhir lamaran tinggal sehari, ia berjalan tanpa alas kaki alias nyeker ke toko untuk membeli sepatu dan langsung ke kantor untuk menulis surat lamaran.   Berbeda dengan surat lamaran-lamaran sebelumnya, surat ini mendapatkan respons positif. Dipanggil, ikut test dan kemudian diterima sebagai trainee selama delapan bulan.

Ia merasa mendapat hikmah dan pelajaran hidup meskipun kehilangan sesuatu tetap harus sabar dan berdoa agar ada kesempatan untuk kehidupan yang lebih baik.

“Begitu lulus pendidikan, kita disuruh milih posisi yang cocok, entah ke international banking, marketing, kredit  atau yang lainnya. Saya pilih bagian audit  karena saya belum punya kenalan dan mengukur kemampuan saja,” katanya.

Profesi auditor, kata dia,  relatif mudah karena sudah ada  panduan ketentuan atau SOP. Tinggal mencocokkan dengan realitas yang dijalankan di lapangan. Tentu saja  adjustment dan lainnya di luar ketentuan bisa dilakukan, tapi tetap harus ada dasar hukumnya, termasuk regulasi dari Bank Indonesia.

 Dari audit ke SDM

Setelah 3 tahun di Satuan Kerja Audit, ia pindah ke Divisi Operasi untuk sinkronisasi bank hasil merger 3 Bank swasta, untuk Supervisi Operasional Area Jabodetabek. Di pertengahan tahun 2000 setelah krisis moneter 1998, Bank hasil merger tersebut diakuisisi oleh Bank Danamon dan Budi memilih berhenti.

Di awal tahun 2001, ia pindah ke salah Bank swasta dan memulainya di Divisi Kredit, lalu pindah ke Audit Internal dan terakhir di Divisi HRD sebagai industrial relation manager hingga 2015.

“Awalnya di divisi pendukung kredit bertugas untuk memeriksa kelayakan jaminan Channeling, lalu naik menjadi Dept Head Audit Chanelling,” ujar  Budi.

Sambil bekerja, Budi sempat mengambil kuliah pasca sarjana dalam bidang Manajemen Sumber Daya Manusia di salah satu Universitas swasta yang menjadi bekal dia dipercaya sebagai Head of Industrial Relation HRD.

“Kewenangan saya, antara lain memproses sanksi SP3 dan PHK dan setiap bulan presentasi kasus industrial relation dan rekomendasi sanksi di rapat Direksi/Komite SDM,” katanya. .

Salah satu tugas yang berkesan saat itu adalah pengalihan karyawan sopir, satpam, office boy cleaning service yang semula merupakan karyawan Bank ke perusahaan baru (perusahaan outsourcing yang dibentuk) karena adanya ketentuan Bank Indonesia bahwa karyawan Bank harus sesuai core bisnis bank itu sendiri.

“Jadi kita harus pindahkan karyawan tersebut ke perusahaan baru yang masih dalam satu group usaha, dan secara finansial tak berubah, masa kerja baru. Namun dengan gengsi yang dipersepsikan lebih rendah tentunya memunculkan penolakan berupa demo di beberapa tempat, namun pada akhirnya terselesaikan dengan baik. Apalagi kita tidak pindahkan mereka dengan tangan kosong, tapi dengan uang kompensasi sesuai ketentuan,” cerita Budi.

Akhir tahun 2015-2018 ia diajak bergabung untuk membantu di perusahaan Retail Perancis yang mayoritas sahamnya dimiliki putra Indonesia sebagai GM Investigasi dengan kompensasi dan tunjangan yang lebih baik.

Toko sembako

Menikah tanggal  Juli 1998 dengan  adik kelasnya semasa SMA, Budi dikaruniai tiga orang anak, dua putra, satu putri. Selepas pensiun, bersama istrinya, ia membuka dan mengelola toko sembako di wilayah Binong Tangerang.

Ide untuk membuka toko sebetulnya datang dari sang istri yang ingin mengisi waktu luang dengan berjualan makana kecil/snack karena anak-anak sudah bisa ke sekolah mandiri namun berkembang menjadi toko sembako, agen ekspedisi, gas, air mineral kemasan, galon dan Brilink/mini banking.

“Saya beli rumah ini dan merenovasinya. Di atas untuk kos-kosan, di bawah untuk dagang multi produk dan jasa,” jelas  Budi yang kini merasa lebih bebas karena lebih leluasa menata waktunya.  (Paul M. Goru)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*