
SpiritPerantau.com|| Selain Minang, masyarakat Indonesia mengenal orang Batak sebagai suku bangsa perantau. Hampir di setiap wilayah Indonesia, berdiam perantau Batak, mulai dari Aceh hingga Papua.
Di sana, mereka memainkan banyak peran dan profesi, paling dominan adalah guru (pendidik) dan pengacara.
“Sejak tahun 1950-an, setelah Indonesia makin terbuka, suku Batak merasa bahwa untuk kemajuan pribadi, mereka harus ke kota. Lalu mereka pindah, pertama ke Siatar, Medan lalu ke Jakarta. Sekarang sudah ke seluruh Indonesia. Dan semuanya itu dalam beberapa peran, pertama ingin mengajar, jadi guru, sampai ke Kalimantan dan Papua. Kalau di kota besar, mereka jadi lawyer. Lalu ada juga tentara,” kata Dr. Henry Pandapotan Panggabean, S.H., MS., Ketua Umum Kerukunan Masyarakat Hukum Adat Batak (KERABAT).
Menurut mantan Hakim Agung di Mahkamah Agung RI yang kini juga menjabat Ketua Umum Kerukunan Masyarakat Hukum Adat Nusantara (KERMAHUDATARA) ini, persatuan dan kekerabatan masyarakat Batak di perantauan juga sangat kuat. Salah satu pilar utama budaya Batak yaitu dalihan na tolu sangat menunjang persatuan ini.
Dalihan na tolu adalah kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok. Dalam adat batak, Dalihan Na Tolu menunjuk pada adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama.
Ketiga tungku tersebut adalah: (1) Somba marhulahula (sikap sembah/hormat kepada keluarga pihak istri; (2) Elek marboru (sikap membujuk/mengayomi wanita); dan (3) Manat mardongan tubu (sikap berhati-hati kepada teman semarga).
Lima kekuatan utama
Pria kelahiran Sidikalang, Sumatera Utara, 1 Juli 1937, ini mengemukakan lima kekuatan nilai utama orang Batak, termasuk para perantau Batak.
Pertama, beriman. Tepatnya takut akan Tuhan. “Di perantauan, kalau sudah ada 20 orang, langsung bikin gereja. Kumpul berdoa. Mereka percaya bahwa dia hidup dan mati, ada dekat Tuhan,” katanya.
Kedua, wisdom atau kebijaksanaan. Ketiga, kepatuhan pada adat danihan na tolu, menghargai marga.
“Masing-masing sangat kuat menjaga diri, kesopanan. Mereka sangat meghormati marga mamanya. Marga bapaknya tidak boleh saling kawin,” terangnya.
Empat, suka menolong. Dan kelima, tekad dan kerja keras hingga berhasil.
“Sejak kecil, orangtua Batak selalu menanamkan dalam diri anak-anaknya tekad untuk berhasil. Kalau tanam jagung, harus berhasil. Kalau tidak berhasil, ia akan gusar. Kalau pelihara ayam, ya pelihara ayam, tak tanggung-tanggung. Dia tidak akan mundur sebelum berhasil. Kalau buka bengkel tambal ban, ya dia berusaha habis-habisan,” jelas Doktor Hukum dari Universtias Gadjah Mada ini.
Orangtua di dekatmu
Ketika berada di perantauan, orang Batak juga sangat taat pada pesan orangtua. Salah satunya adalah hormatilah tetangga. Juga, carilah orang yang dituakan di dekatmu untuk menjadi orangtuamu!
“Tahun 1972, setelah jadi hakim 7 tahun di Tarakan, saya pindah di Jakarta. Saya beli gubug di Tanah Kusir. Tetangga saya orang asli Betawi. Saya cari orang yang dituakan di tempat saya dan saya jadi anak angkatnya Haji Bani. Buah pohonnya itu saban hari dihantarkannya ke rumah. Kebetulan saya mengurus dia berangkat dan pulang haji saya yang urus. Dia sangat terharu, orang non muslim kok bisa membantu saya. Sampai sekarang kami rukun,” ia mengungkapkan pengalamannya.
Ditambahkannya, orang Batak, terutama di perantauan, sangat malu meminta-minta. Pantang bagi mereka untuk meminta-minta. (Paul M Goru)
Be the first to comment