Dr Stefanus Roy Rening SH MH: Jual Vespa untuk Bekal Merantau, Kini Jadi Pengacara dan Pembela Kemanusiaan yang Berani

Dr Stefanus Roy Rening SH, MH, bersama istri
Dr Stefanus Roy Rening SH, MH, bersama istri

SpiritPerantau.com || DENGAN menumpang kapal laut, Stefanus Roy Rening tiba di Tanjung Priok, Jakarta. Tak ada keluarga yang menjemputnya di pelabuhan yang terletak di utara Jakarta itu. Ia juga tak tahu di mana rumah keluarganya yang lebih dahulu bermukim di Jakarta.

Sejenak beristirahat di bangku keras terminal bus Tanjung Priok, Roy melanjutkan perjalanannya ke wisma Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) yang terletak di Jalan Sam Ratulangi, Jakarta Pusat.

Organisasi mahasiswa Katolik ini memang telah menjadi “keluarganya” yang dimasukinya sejak duduk di Semester 3 Fakultas Hukum Universitas Katolik Atmajaya, Makasar. Saat itu Roy diutus oleh Fakultasnya untuk mengikuti latihan kepemimpinan dasar yang digelar oleh organisasi tersebut. Merasa cocok, pria kelahiran Makasar 27 Pebruari 1967 dari pasangan Romanus Rening, asli Kewapante, Maumere dan Maria Helena Bandan yang berasal dari Rantepao, Toraja, ini memutuskan aktif dalam organisasi kader katolik tersebut.

Keluarga Dr Stefanus Roy Rening SH, MH
Keluarga Dr Stefanus Roy Rening SH, MH

Selain belajar berorganisasi, Roy mengaku mendapat beberapa “keuntungan” sebagai seorang mahasiswa. Kesempatan olah intelektual dalam diskusi antara sesama anggota maupun dengan para senior selalu terjadi. “Hampir setiap malam, para senior datang dan mentoring kita. Kita juga punya kesempatan baca Harian Kompas dan media besar lainnya di markas PMKRI Makasar,” katanya.

Terus mengasah keterampilan berorganisasi, di tahun 1991, Roy terpilih sebagai Ketua Presidium DPC PMKRI Ujung Pandang. Ia jadi orang Flores pertama yang dapat kesempatan pimpin PMKRI Ujung Pandang. Pengalaman berorganisasi inilah yang mendorongnya “merantau” ke Jakarta pada tahun 1992.

“Saya ini pemimpin, sudah dikader. Kalau hanya di Ujung Pandang, kalah bersaing. Palingan kerja di Bank, gantikan Bapak yang pensiun dari BNI 46. Saya harus ke Jakarta,” kata Roy. Semula, ayahnya menolak keras tekad puteranya itu. Ia bersikeras agar Roy bersedia menggantikannya di Bank.

Tekadnya tetap bulat. Tapi dia tak punya uang untuk merantau. Beruntung saat berusia 17 tahun, sang ayah sempat menghadiahinya sebuah vespa sebagai penghargaan karena ia mendapat ranking satu di SMA. Vespa yang telah menemaninya selama tujuh tahun — sejak SMA hingga lulus kuliah—itu terpaksa dia lepas seharga Rp 2 juta.

Orangtua akhirnya menyetujui keinginan Roy yang saat itu baru saja lulus dari Fakultas Hukum dan melepas tugasnya sebagai Ketua Presidium DPC PMKRI Makasar. Setelah mendapatkan restu ayah dan bekal perjalanan, mama Helena lalu bergabung di kamar dan ketiganya berdoa dan setelah itu menangis bersama.

roy rening

“Saya bersyukur karena akhirnya mendapatkan restu orangtua. Restu orang tua itu sangat penting bagi orang yang ingin merantau. Bila tidak, kita bias saja terseok-seok di perantauan,” katanya.

Meski belum ada banyangan jelas, Roy melangkah penuh keyakinan. Terutama karena penguasaan ilmu hukum yang memadai karena saat itu Atmajaya Makasar memang memiliki dosen-dosen yang mumpuni. Banyak professor ternama mengajar di sana.

Perkara buruh

Tiba di Margasiwa, Roy berjumpa beberapa seniornya yang duduk di kepengurusan PMKRI Pusat dan ia pun tenggelam dalam dinamika, juga rutinitas organisasi yang berdiri pada tanggal 25 Mei 1947 ini. Saat itu Presidium Pengurus Pusat PMKRI dipegang oleh Ir. Cyrillus Iriyanto Kerong.

Tahun kedua, Cyrillus mempertemukan Roy dengan Paskalis Pieter SH. Roy pun bergabung dengan LBH Dunia Pemuda yang dipimpin Paskalis. Pintu masuk ke dunia kepengacaraannya pun terbuka melalui Om Paskalis.

“Kita mulai dengan perkara buruh. Itu batu uji, bisa tidak kita masuk ke kasus-kasus lainnya. Dari situlah kita dapat makan. Kalau kita sudah bela buruh, kita dibayar, ya kita sudah mulai lihat-lihat uanglah,” cerita Roy.

Tapi ia mengaku bila penghasilan dari profesinya saat itu sangat seret. Kadang untuk makan siang, mereka harus berhutang di warung.

Pieta Katedral

Siang hari, 29 Desember 1993, Roy turun dari angkutan kota, persis di depan Gereja Katedral, Jakarta. Langkahnya berat. Masuk gereja, ia langsung menuju ke patung pieta yang terletak di pojok belakang sisi kanan gereja tua yang secara resmi digunakan pada 1901 itu.

Di depan patung Maria dengan wajah malaikat menggendong Putranya yang telah tak bernyawa itu, Roy berdoa. Sambil menangis, ia mencurahkan seluruh isi hatinya ke hadapan Bunda. Termasuk janjinya pada Sang Ayah untuk “membayar” uang vespa yang dia jual sebagai modalnya merantau ke Jakarta.

“Saya menangis ingat Bapak yang sudah pensiun. Biasanya saat Natal dan Tahun Baru, kita pakai baju baru dan merayakan pergantian tahun di rumah. Tapi saya tidak bisa kirim apa-apa karena
tidak ada uang,” cerita Roy.

Doanya sangat khusyuk saat itu. Ia minta dibukakan jalan. Tanggal 4 Januari 1994, mukjizat terjadi. Mereka mendapatkan perkara besar. Seorang direktur BUMN dituduh melakukan korupsi. Yakin bahwa tuduhan itu direkayasa oleh lawan politiknya, Paskalis dan Roy melakukan upaya pembelaan.

“Kebetulan skripsi saya tentang pembuktian tindak korupsi, jadi saya cukup kuasai masalah itu,” kata dia. Proses perkara itu berlangsung sangat lama. Mereka juga berhasil mengamankan banyak asset.

Perkara itu, aku suami dari Margreta Sutuju, ini bisa menghidupkan dia selama enam tahun. Dari sana ia bisa “membayar” vespa ayah, menikah, membiayai kehidupan keluarga mudanya dan banyak kebutuhan lainnya.

“Itulah yang membongkar seluruh hidup saya. Ketika kita menyerahkan diri secara total kepada Yesus dan Bunda Maria, Tuhan pasti buka jalan,” tegas ayah dari Fernando Antonio Rening, Angelica Agnesia Rening, Augusto Advocatio Justino Rening dan Alvarezio Stevanio Rening ini. Tapi, tambah dia, Tuhan akan kabulkan bila yang kita minta itu baik menurut Dia. Kalau untuk kejahatan, pasti tak dikabulkan.

Anak adalah “harta”

Advokat yang sudah mengabdi selama 29 tahun dan sangat matang dalam kiprah kepengacaraannya ini sangat memprioritaskan pendidikan anak-anaknya. Baginya, anak adalah harta. Anak adalah segala-galanya. Merekalah yang melanjutkan generasi, baik secara keluarga, bangsa maupun gereja. Karena itu ia sangat serius mempersiapkan mereka untuk hidup lebih baik dengan tujuan untuk melayani.

“Kita mau anak-anak kita belajar di sekolah yang terbaik. Dengan itu dia bisa memberikan pelayanan yang terbaik pula,” katanya. Roy menyekolahkan anak-anaknya ke lembaga pendidikan yang bagus. Fernando dan Angelica telah tamat dari Fakultas Kedokteran Universitas Maranatha, Bandung. Augusto sedang belajar di Fakultas Hukum pada univeritas yang sama, sementara putra bungsunya kini duduk di kelas XII Penabur.

“Bapak tidak kasih harta dalam bentuk material, tapi dalam bentuk sekolah. Bapak membiayai pendidikan kalian supaya kalian punya kompetensi. Rezeki nanti kamu cari sendiri dengan melayani sebaik mungkin. Dengan begitu, masyarakat percaya dan nanti berkat juga akan ditambahkan,” nasihat Roy pada anak-anaknya.

Terkait pilihan sekolah anak, Roy mengaku terinspirasi oleh pelayanan Yesus. Selain, tentu saja, sesuai dengan bakat anak. Tuhan Yesus, kata dia, memiliki tiga tugas yang dijalankan selama masa hidupNya. Yaitu mengajar, menyembuhkan orang sakit melalui mukjizat yang dalam konteks sekarang melalui keahlian medis dan memberikan makanan kepada banyak orang melalui penyediaan lapangan kerja.

“Jadi saya dorong mereka bekerja di bidang-bidang ini. Yang dokter saya bilang kamu ke sana bukan untuk kaya. Dengan ilmu pengetahuan yang kamu dapat, kamu dapat menyembuhkan orang dari sakitnya. Mudah-mudahan berkat datang bagi banyak orang,” katanya sembari menambahkan, cukup satu orang yang mewarisi keahliannya di bidang penegakkan hukum dan HAM.

Soal biaya hidup dan keluarga, Roy mengaku semuanya karena berkat Tuhan. Ia percaya, kalau kita sungguh-sungguh mau menyerahkan anak-anak kepada Tuhan, untuk melayani sesama, Tuhan pasti kasih jalan.

“Tuhan, saya serahkan semua anakku. Pakailah mereka semuanya untuk menjadi berkat bagi orang lain,” doanya saban hari. Karena penyerahan bagi pelayaan itulah, aku Roy, Tuhan terus buka jalan.

Memang, sebagai pengacara professional yang telah teruji dalam dunia pekerjaannya, Roy punya modal untuk mendapatkan kepercayaan klien karena pelayanannya yang maksimal. Tapi Roy mengaku bila pekerjaan itu datangnya dari Tuhan.

“Pekerjaan itu tidak tiba-tiba datang. Pengacara yang mumpuni ‘kan banyak. Kita semua bertarung. Tapi saya punya keyakinan iman bahwa Tuhan pasti menyertai dan mencukupkan kebutuhan saya. Dialah yang memberikan saya pekerjaan. Tugas saya adalah memperbaiki kinerja professional saya sehingga mendapatkan kepercayaan masyarakat,” jelasnya.

Roy juga mengaku bila rezeki datang karena tujuannya jelas. Bukan untuk membeli harta, tanah, mobil dan kemewahan, tapi untuk anak-anak, terutama pendidikan mereka.

Pembela HAM

Selain perkara-perkara korporasi, Doktor dalam ilmu hukum pidana ini banyak terlibat dalam perkara-perkara terkait HAM (Hak Asasi Manusia). Yang paling menyita perhatian publik, bahkan publik internasional, adalah eksekusi mati Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marianus Riwu.

Ketiganya dijerat tuduhan pembunuhan, penganiayaan dan perusakan di tiga desa di Poso, yakni desa Sintuwu Lemba, Kayamaya dan Maengko Baru. Pada April 2000, PN Palu memvonis hukuman mati kepada ketiganya. Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara menguatkan putusan itu pada Mei 2001.

Mulai dipercaya sebagai Ketua Tim Pengacara Tibo Cs pada 2006, mereka akhirnya menemukan bukti baru yang mengonfirmasi bahwa kliennya tak terlibat dalam kasus pembunuhan yang berlatar konflik politik lokal dengan pemanfaatan sentimen agama tersebut.

“Ada 12 saksi yang terdiri dari para guru, suster dan anak-anak murid yang bersaksi bahwa pada saat pembunuhan itu, Tibo Cs ada bersama mereka. Om Tibo Cs datang untuk mengevakuasi mereka. Sayangnya PK itu tak diterima karena sudah ada PK pertama yang diajukan oleh penasihat hukum sebelumnya,” kata Roy.

Kapolda Sulawesi Tengah saat itu Brigjen Pol Oegroseno yang sangat yakin bahwa Tibo Cs tak bersalah, terus mendorong Roy Cs untuk membebaskan mereka. Ia juga mendorong Roy untuk mengupayakan grasi. Meski mendapat tekanan, ia tak mau mengeksekusi para perantau asal NTT tersebut.

Akhir Agustus 2006, Oegroseno dimutasi menjadi Kepala Pusat Informasi dan Pengolahan Data Divisi Telematika Mabes Polri. Mutasi itu ditengarai sebagai buntut penolakannya untuk melakukan eksekusi mati terhadap Tibos Cs. Pada Jumad (22/9/2006), ketiganya dieksekusi tanpa pendampingan pastor dan pengacara karena mereka yakin bahwa ketiganya tak bersalah.

Semua upaya telah dilakukan, bahkan Paus Benediktus XVI pun meminta kepada Presiden saat itu Susilo Bambang Yudoyono agar hukuman mati atas ketiga terpidana itu ditinjau kembali, tapi tak berdampak.

“Mereka bertiga menjadi ‘martir’ bagi gereja dan Indonesia,” kata Roy mengungkapkan suara Tuhan dalam doa sunyinya pada malam eksekusi mati. Tapi seluruh drama, intrik dan perjuangan membela Tibo Cs memberikan semangat dalam menjalankan tugas pembelaan kemanusiaan selanjutnya.

Dengan latar kasus itu, pada 5 Juli 2019, Roy meraih gelar Doktor dalam bidang hukum. Ia berhasil mempertahankan disertasinya “Politik Hukum Pidana Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana dan Perlindungan HAM bagi Terpidana di Indonesia” di hadapan 9 Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung dengan predikat “Sangat Memuaskan”.

Dalam disertasinya itu, ia menandaskan bahwa PK (Peninjauan Kembali) tidak bisa dibatasi hanya dua kali, tetapi bisa dilakukan berkali-kali selama Novum (bukti baru) tersedia. “PK dengan novum membantu pengadilan kita untuk menciptakan keadilan. Belanda yang merupakan rujukan hukum Indonesia sudah biasa melakukan hal ini,” kata Roy yang melakukan penelitiannya di Universitas Leiden, Belanda ini.

Kewirausahaan

Berkaca pada pengalaman hidupnya, Roy menegaskan bahwa kecerdasan dan keberanian merupakan bekal atau potensi alami yang dialami oleh Flores yang ingin terjun dalam profesi kepengacaraan. Bukan keberanian dalam artian fisik, siap berkelahi misalnya, tapi pantang mundur sebelum bertanding.

Yang kurang, katanya, adalah mental kewirausahaan untuk meraih peluang-peluang penanganan perkara. Salah satunya dengan mengembangkan jejaring. Setinggi apapun tingkat kecerdasan dalam pengatasan kasus hukum, bila bekerja sendiri dan tinggal dalam isolasi, maka peluang untuk mendapatkan kasus hukum (perkara) sangat tipis.

“Kemampuan menjual diri dalam arti positif perlu dikembangkan terus. Kita boleh saja cerdas, tapi kalau tak bisa ‘menjual diri’ maka orang tidak kenal kita, terutama kemampuan kita. Dan karena itu kita tak akan dapat perkara,” katanya. (Paul M. Goru)

3 Comments

  1. Thanks kak Roy utk story nya. Menjadi inspirasi utk kami2 yg masih mengenal apa itu pelayanan. Semoga dengan bakat & kemampuan anak2 kak Roy & kak Marhaeeta menjadi contoh bagi generasi penwrus yg lain. Tetep membela demi kebenaran & selalu rendah hati. Salam & sehat selalu dari Kami..

  2. Sosok Humanis dan Bersahaja sebagai Inspirator saya, dan Beliau selalu mengajarkan utk melayani Masyarakat dengan tulus, Semoga TUHAN jaga Kaka sekeluarga amin, Fajri Noch Ketua Umum DPP Generasi Muda KOSGORO

  3. Pengalaman hidup yg luar biasa, berani krluar dari zona nyaman u hidup yg lebih baik. Tuhan selalu bersama orang berani

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*