Menggeser Penyematan Profesi Keras pada Peratau Indonesia Timur

Louis M. Pakaila, Ketua Masyarakat Kristen Indonesia Bagian Timur.

SpiritPerantau.com || Profesi  body guard, satpam dan debt collector, penjaga lahan,  sering dianggap sebagai profesi “turunan” bagi para perantau asal Indonesia Bagian Timur (IBT).  Bahkan banyak orang  menganggapnya sebagai profesinya orang IBT.

Penyematan tersebut sepintas benar. Toh  profesi-profesi  tersebut, terutama debt collector, banyak dijalankan oleh para perantau asal IBT. Tapi Ketua Masyarakat Kristen Indonesia Bagian Timur  Louis M. Pakaila menampik penyematan streotip seperti itu. Profesi-profesi tersebut, kata dia, tak hanya dijalankan oleh para perantau dari Timur. Tapi juga dilakoni kelompok masyarakat lainnya.

“Pelabelan seperti itu kurang tepat. Terbukti hanya segelintir orang Timur yang menjalankan profesi-profesi  tersebut. Dan yang menjalankan itu, tak selamanya orang Timur. Debt collector  misalnya, sudah banyak dilakoni orang Batak juga kan? Bahkan Padang dan Jawa juga ada,” kata suami dari Maria Ida Rosida ini.

Bahwa tak sedikit perantau IBT terjun ke profesi bodyguard, satpam atau tukang tagih, menurut Louis, dilatari oleh tuntutan atau spesifikasi jabatan atau pekerjaan  yang memperyaratkan keberanian, berpostur tegap dan sedikit “keras”.

“Jadi yang punya usaha itu yang meminta misalnya bahwa orangnya harus berbadan tinggi besar, harus  yang sedikit terlihat sangar. Yang tampangnya seperti orang timurlah. Jadi bisa diambil dari orang  Maluku, Papua, NTT,”  ujarnya.

Bukan profesi idaman

Dari perbincangan dengan para pelaku pekerjaan “keras” tersebut, Louis mendapatkan konfirmasi bahwa menjalankan pekerjaan-pekerjaan tersebut bukanlah impian atau cita-cita mereka. Mereka harus menerima dan menjalaninya karena tuntutan hidup  di kota besar.

“Karena tidak ada pekerjaan lain Om. Kalau ada pekerjaan  yang lain, kita  lebih  senang. Ya, seperti kerja di kator atau pabrik,” katanya mengutip  peryataan para perantau asal IBT yang bekerja sebagai penjaga atau pengawal lahan kosong.

Dia menambahkan, tingkat pendidikan turut mendukung pilihan pekerjaan. Yang lulusan SMP dan SMA mungkin akan melakoni pekerjaan tersebut. Tapi yang sarjana pasti memilih berkarier di kantor atau profesi lainnya.

“Jadi kalau ada stempel bahwa orang IBT pasti jadi Satpam, bodyguard, tukang tagih atau penjaga lahan, saya kira tidak sepenuhnya benar. Lagian, para perantau IBT juga sebenarnya  tak menginginkan pekerjaan-pekerjaan keras tersebut,” tukas sarjana kimia dari ITB ini.

Untuk mengatasi penyematan kaku atau pelabelan seperti itu, Louis meminta partisipasi banyak pihak untuk juga membuka kesempatan kerja bagi para perantau IBT, terutama untuk peran-peran yang tak hanya mengandalkan kekuatan fisik.

Sebagai pengusaha di bidang pertambangan minyak, terutama dalam merevitalisasi sumur-sumur minyak yang yang sudah lama tak dimanfaatkan oleh Pertamina sehingga bisa berproduksi lagi, Louis bertekad untuk memberikan peluang kerja bagi para perantau IBT.

“Ada ratusan ribu sumur yang dengan menggunakan tekonologi dari Prancis, bisa dibuat menghasilkan lagi. Proyek ini akan menyerap banyak sekali tenaga kerja. Saya berencana memperdayakan orang-orang seperti mereka,” kata pria kelahiran Jakarta dari orangtua turunan Bugis dan Ambon ini.

Sudah sejak tiga tahun lalu,  ia menerima tawaran  dari pengusaha  perminyakan yang berbasis di Prancis untuk memimpin usaha revitalisasi sisa sumur minyak tersebut di Indonesia. Ia berharap, dalam tiga tahun ke depan, proyek tersebut sudah bisa menghasilkan dan mengurangi import BBM yang sekarang telah mencapai 1 juta barrel per hari.

Adaptasi dan berada di depan

Berkaca pada  pengalamannya ssendiri  dan para perantau senior lainnya yang berasal dari IBT, Louis menyebut beberapa kiat sukses di perantauan. Pertama, harus mampu beradaptasi. Baik dengan lingkungannya yang baru, dalam pergaulan bersama masyarakat berbeda latar belakang, dan berusaha untuk selalu memberikan nilai lebih bagi lingkungan yang baru itu.

“Seperti kata Alkitab, kita hendaknya selalu menjadi terang. Di manapun Tuhan menempatkanmu, kita harus terus menjadi terang,” kata pengusaha yang sudah lama terjun dalam pelayanan ini.

Prinsip sukses kedua, selalu berada di depan dan berani tampil di depan. Kalau kita berada dalam kerumunan, kata dia, kita jangan berada di belakang, tapi harus di bagian depan.

“Kalau misalnya ada bagi-bagi hadiah, rejeki  dan sembako misalnya, kalau kita berada di bagian belakang, ya kita bakalan tidak kebagian.  Jadi hendaknya kamu senantiasa berada di depan. Walau tidak harus di paling depan. Kalau di belakang, kan kita hanya manut orang yang di depan kita,” ia mencontohkan.

Kata “berada di depan”, kata Louis, tak hanya menunjuk pada tempat (fisik), tapi juga menunjuk pada mentalitas pelopor, inisiator ataupun pionir. Karena keterbatasan sumber daya, seorang perantau memang harus selalu kreatif, inovatif dan punya semangat juang yang tinggi. (Paul M. Goru).

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*