
SpiritPerantau.com || Tingkat kreativitas dan inovasi menjadi salah satu penentu dalam kompetisi, baik dalam tataran kehidupan personal maupun dalam dunia bisnis. Kesadaran ini telah lama diyakini dan dihidupi oleh Ichsan Tobing, MBA.
“Sebenarnya kalau kita kreatif dan inovatif, kita tidak takut kompetisi. Kedua hal inilah yang justru bikin kita bernafsu untuk masuk dan memenangkan kompetisi. Kompetisilah yang merangsang kita untuk menciptakan produk atau layanan yang unik dan terbaik,” katanya.
Tahun 2004, saat dipercaya sebagai salah seorang penentu kebijakan pemasaran di Hongkong and Shanghai Banking Corporation Limited (HSBC), Ichsan berhasil menghantarkan HSBC mengalahkan raksasa kartu kredit saat itu dalam bidang layanan dan loyalitas pelanggan. Padahal, saat itu, HSBC adalah pemain baru. Ibarat David melawan Goliath, Ichsan dan tim menggunakan ketapel inovasi dan kreativitas untuk mengalahkan raksasa kartu kredit saat itu.
Majalah Infobank, rujukan terdepan informasi perbankan saat itu, menempatkan tim pemasaran HSBC sebagai tim marketing custumer dan loyalty program yang paling kreatif dalam industri perbankan saat itu. Diakui sebagai tim yang paling kreatif dalam mengelola pelanggan dan membuat pelanggan setia menggunakan kartu kredit HSBC.
“Kita memudahkan dan mempercepat proses bagi para pelanggan untuk mendapatkan reward atas point yang sudah mereka kumpulkan. Bentuknya pun lebih bervariasi sehingga konsumen dapat memilih yang sesuai dengan keinginan mereka,” kata Ichsan.
Tim HSBC melihat sesuatu yang tidak disediakan oleh pemimpin pasar saat itu. Biasanya saat belanja menggunakan kartu kredit bank tersebut, pemegang kartu akan mendapatkan point, setelah terkumpul dan jumlahnya mencukupi, bisa ditukar dengan barang-barang tertentu (merchandise) seperti gelas, payung, mug dan sebagainya.
“Mereka juga punya katalog segala. Ada banyak sekali pilihan merchandisenya. Jadi Anda bisa pilih dari katalog. Malah bisa tukar dengan motor segala. Mereka punya gudang merchandise segala. Sebegitu kreatifnya mereka sehinggga reward mereka paling besar saat itu,” katanya.
Tapi ada juga kelemahannya. Prosesnya nyebelin dan bisa memakan waktu berminggu-minggu untuk mendapatkan barang tersebut. Belum lagi bila barang yang dikirim tak tepat sesuai dengan keinginan konsumen. Waktu tunggunya bisa lebih lama lagi.
Tim HSBC menangkap kelemahan raksasa kartu kredit tersebut. Tim kreatif pemasaran lalu menggandeng Sogo Departemen Store yang saat itu berada di Jakarta, Bandung, Surabaya dan Bali sebagai tempat untuk menukarkan point.Bila telah mencapai jumlah pointnya, pemegang kartu tinggal menukarkan pointnya di Sogo dan mendapatkan barang yang sangat bervariasi.
Banyak pelanggan beralih dan program si raksasa pun hancur. Mereka merubah program hingga akhirnya tutup gudang. HSCB menang karena menyediakan aspek kecepatan dan kemudahan bagi konsumen. Kedua aspek itu, yaitu kemudahan dan kecepatan, kata Ichsan, merupakan prinsip dasar yang menjiwai perusahaan-perusahaan star-up saat ini.
“Jadi mungkin karena kita didikan Amerika jadi kalau berkompetisi, kita benar-benar berusaha menjatuhkan lawan kita secara fair,” katanya mengomentari spirit yang melatari kesuksesan mereka mengalahkan raksasa kartu kredit saat itu.
Menekuni manajemen
Etos Amerika melekat dalam diri pria Batak kelahiran Surabaya 6 Maret 1966 ini. Selepas SMA Pangudi Luhur, Jakarta, ia masuk jurusan Manajemen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia. Saat itu, UI baru berpindah ke Depok. Sebagai salah seorang pengurus Senat Mahasiswa, ia menangkap kesulitan yang dihadapi para mahasisa, terutama terkait dengan buku.
Kreativitasnya muncul. Bersama teman-temannya, ia berinisiatif mendirikan koperasi mahasiwa. Salah satu aktivitasnya adalah menyediakan buku dan perlengkapan kuliah
“Kita belanja ke Mangga Dua lalu bawa ke Depok kemudian dijual dengan marjin tipis kepada mahasiswa. Jadi mahasiswa tertolong sekali dengan adanya koperasi itu,” terang Ichsan. Saat itu Senat Mahasiswa dipimpin oleh Drs. Andrinof Achir Chaniago, M.Si. mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dalam Kabinet Kerja dari 27 Oktober 2014 hingga 12 Agustus 2015.
Ia kemudian melanjutkan studinya dalam bidang manajemen di Wisconsin, Amerika dari tahun 1990-1992. Menariknya, ia kuliah sambil bekerja di laboratorium komputer, juga di gereja. Ia mengaku bisa mendapatkan pekerjaan karena pergaulan dan jejaring yang baik.
Mengikuti ketertarikannya pada dunia manufacturing, ia masuk Unilever saat kembali dari Amerika di tahun 1992. Lalu ke L’Oreal, HSBC, BII, Astro dan kemudian ke UOB. Di perusahaan-perusahaan multinasional tersebut, ia selalu duduk di puncak-puncak organisasi dengan peran-peran strategis.
Terbiasa bekerja keras
Raihan posisi puncak di perusahaan multinasional tak terlepas dari pendidikan luar negeri, terutama Amerika yang dijalaninya. Bukan terutama karena perolehan gelar kesarjanaan, tapi karena pola pikir dan etos kerja yang mereka bawa.
Ichsan mencatat beberapa etos personal lulusan luar negeri. Pertama, selalu berpikir kritis. Mereka malu bila malu bertanya. Mereka suka mengulik.
“Itu terlihat sekali dalam suasana kelasnya. Professor itu bukan datang ke kelas langsung tulis di papan, tapi langgsung mengajak diskusi. Apalagi itu S2. Kalau kita tidak kuasai teori dan penerapannya bagaimana, bakal mati angin dan malu kita. Juga ada konsep malu juga kalau tidak memberikan pendapat di kelas,” cerita Ichsan.
Yang kedua, driven, sangat senang mencapai sesuatu. Ingin membuktikan kualitas diri. Ego pribadinya sangat ditantang, didorong untuk menunjukkan siapa dirinya. Akibatnya, kemampuan yang keluar bisa di atas rata-rata.
“Saat interview, sangat senang dong SDM mendapatkan orang yang sangat ambisius. Ya, lulusan luar biasanya ambisius,” katanya. Dan yang ketiga, telah terbiasa bekerja keras. Di Amerika, mereka biasanya Biasanya kuliah sambil kerja.
“Kita terbiasa bekerja keras dan itu dimungkinkan. Hasilnya bisa untuk uang jajan atau biaya hidup sebulan,” tambahnya.
Tahun 1995, Ichsan menikah dengan Sharon, wanita keturunan Jerman dan Belgia yang dikenalnya sambil belajar di Wisconsil, Amerika. Keduanya dianugerahi dua orang anak, putra dan putri. Yaitu Noah dan Rebecca.
Setelah lebih dari 23 tahun berkarya di Indonesia, tujuh tahun silam ia kembali ke Amerika dan tetap berkarya di Indonesia sebagai konsultan perusahaan besar dan kecil dari sana. (Paul M Goru)
Be the first to comment